Cerpen Revalia
Hujan deras mengguyur daerahku waktu itu. Bersama kakak sepupuku yang menemani. Sementara kedua orang tuaku sedang bekerja. Aku mempunyai banyak saudara sepupu. Tapi diantara mereka, hanya Mas Rangga lah yang paling aku sayang. Aku sudah menganggapnya sebagai kakak kandungku sendiri. Setiap aku sendirian di rumah, mas Ranggalah yang menemaniku. Dengan gurauan-gurauan ciptaannya selalu membuatku tertawa meskipun sama sekali tak ada yang lucu dari gurauan-gurauannya. Mungkin aku tertawa karena melihat usahanya membuatku tertawa.
“Gak lucu aah.. masak gitu ngelawaknya. Coba bikinn aku ketawa.” Kataku. “cara bikin kamu ketawa cuman satu.” Kata mas Rangga. “Apa?” “Gini caranya.” Jawabnya lalu menggelitikku. “Aaa.. curang nih, ya gak boleh pake cara itu.” protesku dengan menahan tawa. “terserah aku dong. Yang penting kan bisa ketawa.” Jawabnya mengelak.
Tiba-tiba, “AAAARGH… Sakit… sakit banget dek… tolongin mas..” mas Rangga kesakitan. Entah apa yang terjadi padanya. Mas Rangga kesakitan, sangat kesakitan. Mas Rangga terus memegangi kepalanya yang sakit. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan waktu itu. aku masih terlalu kecil. Aku pun mengambil HP yang ada di saku mas Rangga dan mencoba menghubungi budhe. “Assalamualaikum. Budhe, tolongin mas Rangga, mas Rangga kesakitan. Kepalanya mas Rangga sakit. Cepet ke sini budhe.” “Ada apa sih nduk?? Tenang dulu. Pelan-pelan ngomongnya. Ada apa?? Mas Rangga kenapa??” Tanya budhe mencoba menenangkan. “Mas Rangga kesakitan budhe. Budhe cepet ke sini. Di sini nggak ada orang.” “Iya, iya. Budhe ke sana sama pakdhe.” Saat itu aku sangat takut, sangat cemas dan ketakutan. aku tidak tahu mengapa aku bisa setakut itu. Seolah-olah aku mengrti apa yang sedang terjadi. Padahal aku sama sekali tidak mengerti apa yang sedang terjadi dengan mas Rangga.
Ketika di rumah sakit, aku hanya menunggu dengan cemas di pangkuan Pakdhe. Selang beberapa saat, dokter datang. Tapi saat aku sudah tertidur pulas di pangkuan Pakdhe.
Keesokan harinya, ketika kubuka mataku, ternyata aku sudah berada di kamarku yang nyaman. Saat itu pula aku melihat sosok yang sangat kukenal berada di sampingku sedang tersenyum padaku. “Hei, sudah bangun kamu dek? Gimana tidurnya? Nyenyak?” tanya Mas Rangga ketika aku menyadari kehadirannya. Aku segera bangun dan segera memeluk mas Rangga dengan erat seolah tak mau melepasnya. Tak terasa air mataku pun menetes. “Loh, kok nangis sih?” tanya mas Rangga. “Mas Rangga kemarin kenapa? Aku takut.” Jawabku terisak. “Mas nggak apa-apa kok. Adek nggak usah khawatir.” Kata mas Rangga menenangkan. “Aku sayang mas Rangga. Aku nggak mau ngeliat mas Rangga kayak gitu lagi. Aku nggak mau melihat mas Rangga kesakitan kayak kemarin.” Aku masih menangis, semakin keras. “Udah dong jangan nangis yah, mas janji nggak bakal kayak gitu lagi. Tapi kamu harus berhenti nangis dulu. Kalau kamu masiih nangis mas nanti sakit lagi loh. Jangan nangis yah.” Kata mas Rangga. “Iya mas, adek janji nggak nangis lagi.” Kataku sambil menghapus air mataku. “Iya, kamu mandi dulu gih. Bau tau.” Goda mas Rangga.
Setelah selesai mandi, aku segera pergi ke rumah mas Rangga yang hanya berjarak kurang dari sepuluh langkah dari rumahku. Setibanya di sana, aku segera masuk ke kamar mas Rangga di lantai atas, tapi tak seorangpun kutemui. Sementara itu di kamar Budhe, “Kenapa harus kamu? Kenapa bukan mama saja yang terkena penyakit itu. Mama rela kalau mama yang memiliki penyakit itu. Mama sudah tua, sementara kamu, masih sangat muda, masa depanmu masih sangat panjang.” Kata Budhe dengan menangis, kemudian memeluk mas Rangga. “Udah dong ma. Semua yang hidup pasti akan meninggal. Termasuk Rangga ma.” Kata mas Rangga menenangkan. “Tapi nggak secepat ini Rangga. Mama masih ingin sama kamu, mama ingin melihat kamu sukses dan bahagia.” Kata Budhe, saat itu Pakdhe tak bisa berkata apa-apa.
Mas Rangga adalah anak satu-satunya, sekaligus anak kesayangan Pakdhe. “Jangan beritahu ke adek tentang ini ya, aku nggak mau melihat adek sedih.” Kata mas Rangga, di saat itu aku datang. “Assalamualaikum, tadi adek cariin dimana-mana nggak ada ternyata pada di sini.” Kataku mengagetkan mereka, segera mungkin mereka menghapus air mata yang ada di pipi mereka. “Waalaikumsalam. eh, ada adek. Sini dek.” Kata mas Rangga. Aku menghampiri mas Rangga, kemudian ia memelukku dengan menangis. “Loh, mas Rangga kok nangis? Kenapa?” tanyaku dengan polos. “Nggak apa-apa kok dek. Mas Rangga Cuma seneng adek ada di sini.” Jawab mas Rangga. Mas Rannga melepas pelukannya. “Mas, maen yuk.” Ajakku. “Iya. Ayo, mau main apa?” tanya mas Rangga.
Minggu demi minggu kulewati bersama mas Rangga, aku tak ingin berpisah dengannya walaupun hanya beberapa jam saja. Aku ingin selalu bersamanya seolah merasa waktu itu adalah saat-saat terakhirku bersama mas Rangga.
Suatu hari, aku melihat pakdhe sangat panik dan tergesa-gesa menuju garasi mobil. Sesaat kemudian mobil pakdhe malaju di tengah derasnya hujan. Terlihat samar-samar dua penumpang di kursi belakang. Mungkin itu budhe dan mas Rangga. Mereka pergi tanpaku. Aku sendirian di rumah. Hatiku resah, aku merasa seolah sesuatu yang buruk akan terjadi pada mas Rangga. Aku mulai menangis. Suara mobil ayah menghentikan tangisku, aku berlari menuju teras rumah, kemudian memeluk ayah. “Ayah mas Rangga tadi kemana? Ayo kita susul. Aku takut.” Kataku sambil menangis di pelukan ayah. Kami pun pergi menyusul mas Rangga.
Ternyata tempat yang kami tuju adalah rumah sakit. “Yah, ini kan rumah sakit. Kita kok ke sini?” tanyaku heran. “Mas Rangga ada di dalam kok dek.” Jawab ayah. Sesampainya di dalam. Aku melihat pakdhe dan budhe panik. Budhe sedang menangis. Aku semakin resah aku takut sesuatu yang buruk terjadi pada mas Rangga. Kami hanya bisa berdoa, berdoa dan menunggu. Empat puluh menit berlalu, tak seorangpun keluar dari ruangan tempat mas Rangga berbaring lemah. Kami sangat khawatir. Saking lamanya aku tertidur di pangkuan ayah.
Ketika aku terbangun, aku sudah berada di kamar ku. Seperti biasa, mas Rangga sudah berada di sampingku. “Selamat pagi adek. Gimana tidurnya? Nyenyak?” Tanya mas Rangga. Aku hanya terdiam. “Dek, dengerin mas ya, mas mau pergi, mas perginya lama banget, dan nggak bisa ketemu adek lagi. Adek jaga diri yah. Mas nitip pakdhe sama budhe.” Kata mas Rangga. “Loh, emang mas Rangga mau kemana? Aku ikut mas. Aku nggak mau ditinggalin mas Rangga. Aku mau sama mas Rangga.” Aku mulai menangis, aku menghampiri mas Rangga dan ingin memeluknya. Tapi mas Rangga tidak membiarkanku memeluknya. “Kamu harus ingat dek, mas Rangga sayang sama adek. Selamat tinggal.” Mas Rangga menjauh. “Mas Rangga. Jangan pergi, jangan tinggalin adek. Mas Rangga berhenti. Mas Rangga.” Aku berteriak semakin keras. Akupun terbangun, aku lega aku hanya bermimpi. “Alhamdulillah, itu cuma mimpi. Nggak mungkin mas Rangga ninggalin aku. Mas Rangga, aku harus nemuin mas Rangga.” Aku berlari menuju rumah mas Rangga. Di depan rumah, banyak orang di sana ada para tetangga, saudara jauh, saudara dekat, teman-teman mas Rangga dan masih banyak lagi.
Ibu melihatku lalu kemudian menghampiriku, kemudian memelukku. “Ada apa Bu? Kok ada rame banget di rumah mas Rangga. Mas Rangga ada di rumah kan Bu?” tanyaku. “Yang sabar ya dek” aku tak mengerti maksud dari kalimat yang diucapkan ibu. Aku berlari mesuk ke rumah. Menghampiri budhe yang sedang menangis. “Budhe, mas Rangga mana?” tanyaku. budhe tidak menjawab, dan masih menangis. Kuulang pertanyaan yang sama. “Budhe, mas Rangga mana?” kemudian budhe memelukku. “Mana mas Rangga, aku mau ketemu sama mas Rangga. Bawa sini mas Rangganya.” Aku mulai menangis, semakin lama semakin keras. Aku histeris beteriak-teriak memanggil nama mas Rangga.
Di hari itu aku hanya bisa menangis, menangis dan menangis. aku terpukul, meskipun aku masih sangat kecil, aku mengerti. Aku mengerti semua yang terjadi waktu itu. Tentang sakit itu, rahasia itu, dan mimpi itu. Hari ini, tepat tanggal 23 April 2011. Di hari yang seharusnya menjadi hari bahagiamu. Di sertai gerimis hujan, kami lantunkan doa-doa untukmu. Semoga mas Rangga bahagia di sana. Aku sangat merindukanmu mas. Mas Rangga juga masih menjadi kakak kesayanganku. Aku sayang mas Rangga.
Di hari itu aku hanya bisa menangis, menangis dan menangis. aku terpukul, meskipun aku masih sangat kecil, aku mengerti. Aku mengerti semua yang terjadi waktu itu. Tentang sakit itu, rahasia itu, dan mimpi itu. Hari ini, tepat tanggal 23 April 2011. Di hari yang seharusnya menjadi hari bahagiamu. Di sertai gerimis hujan, kami lantunkan doa-doa untukmu. Semoga mas Rangga bahagia di sana. Aku sangat merindukanmu mas. Mas Rangga juga masih menjadi kakak kesayanganku. Aku sayang mas Rangga.